24 Maret 2009

AIR SUSU DIBALAS DARAH


JEJAK KASUS
Produser: Firdaus MasrunTayang : Indosiar, Senin, 19 Desember 2005


Ungkapan lama, "Air Susu Dibalas Air Tuba", ternyata bukan sekedar pepatah. Ungkapan itu benar-benar terjadi dan menimpa satu keluarga di Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu.


Pasangan suami istri tewas dibantai oleh seseorang, yang telah mereka asuh, mereka bimbing dan terakhir bahkan akan mereka hantarkan ke jenjang pernikahan. Semua berawal dari kesalahpahaman.Kehidupan tenang warga Dusun Ciragu Amungan, salah satu dusun di Desa Keramik Jaya, Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu tiba-tiba dihentak peristiwa pembunuhan sadis, yang menimpa salah satu keluarga tetangga mereka.
Mereka tidak tahu persis kapan pembunuhan ini terjadi. Mereka hanya kaget, saat bangun pagi melihat banyak polisi di dusun mereka. Amin dan istrinya, Misnah, tewas dibunuh dengan kondisi sangat mengerikan. Kedua korban ditemukan bersimbah darah diruang tengah rumah mereka, dengan leher nyaris putus.


Polisi yang memeriksa kedua korban bahkan menemukan tangan Misnah terputus. Anak korban yang berusia 9 tahun, bernama Muhammad Ali, juga mengalami luka parah namun masih bernyawa dan telah lebih dulu dilarikan kerumah sakit. Tidak tahu mengapa pasangan suami istri ini dibunuh. Sejumlah warga baru mengetahui, setelah mendengar suara menyayat dari dalam rumah dan menemukan Amin dan Misnah, sudah melepas nyawa. Sang pembunuh tidak diketahui karena keburu kabur.


Pihak Kepolisian Sektor Barmaga, yang menangani kasus ini melakukan penjagaan ketat selama pemeriksaan berlangsung. Sementara petugas melakukan pemeriksaan korban, petugas lain melakukan pemeriksaan seluruh ruangan. Lamanya kerja polisi didalam sempat membuat warga tak sabar. Mereka berdesakan ingin melihat, sementara yang lain meneriakkan tuntutan kepada polisi agar secepatnya mengungkap dan menangkap sang pelaku.


Kapolsek Barmaga, IPTU Arif Yuswanto kepada kalangan wartawan yang hadir dilokasi kejadian menjelaskan, dari hasil pemeriksaan situasi didalam rumah, dugaan awal Amin dan Misnah bukan korban perampokan. Andriansya, anak sulung korban akhirnya menjadi saksi kunci dalam pengungkapan kasus ini. Karena remaja ini kepada polisi mengaku ada didalam salah satu kamar, saat kejadian. Bahkan ia mengaku melihat ayah dan ibunya dibantai. Bukan itu saja, ia bahkan mengaku kenal dengan sang pembunuh.


Tanpa buang waktu, polisi langsung membawa remaja ini dan memperdalam keterangannya. Kepada polisi, Andriansyah menyebut nama Edi. Tepatnya Edi Badrullah, pemuda yang oleh kedua orang tuanya sudah dianggap sebagai anak sendiri dan malam itu mampir bahkan berencana menginap di rumah mereka. Menurut Andre, ia tidak tahu apa pasal Edi melakukan tindakan itu, karena ia sendiri sudah tidur di kamar sampai sekitar pukul 3. Ia terbangun saat mendengar jeritan ibunya minta tolong. Ia lalu mengintip dan melihat ayah ibunya sudah terkapar bersimbah darah.


Berbekal keterangan itu, polisi kemudian membekuk Edi, yang sebenarnya telah mereka lihat saat di TKP, bahkan ikut membantu polisi mengurus jenazah korban. Sementara petugas lain bergerak kerumahnya, dan menemukan bukti pendukung sebilah golok yang masih berlumuran darah dan celana panjang juga masih terdapat darah segar.


Pada awalnya, pemuda ini mengelak tuduhan dia pelaku pembunuhan ini, sampai kemudian ia tidak berkutik setelah polisi memperlihatkan golok, celana dan sepasang sendal miliknya yang masih berlumuran darah. Iapun tak berkutik dan mengakui bahwa ia yang menghabisi nyawa Amin dan Misnah.


Selain golok, celana dan sendal, ada barang bukti lain yang disita polisi dari rumah Edi, yakni beberapa buku bacaan berbau mistik. Polisi mencoba menelisik, ada tidaknya hubungan tindakan Edi dengan isi buku-buku itu. Mereka bahkan akan meminta bantuan psikiater untuk melihat kondisi kejiwaan pemuda ini.


Terungkapnya Edi sebagai pelaku pembunuhan ini, mengejutkan banyak pihak. Tidak saja keluarga, tetapi juga warga dan para tetangga, karena hampir semua warga tahu bagaimana dekatnya hubungan keluarga korban dengan keluarga tersangka. Itupula yang tidak bisa dimengerti oleh Andre, anak sulung korban. Karena saat mendiang ayah Edi sakit, kedua korbanlah yang merawat.


Tindakan Edi ini menurut Baihaki sangat memukul perasaan keluarga besarnya. Ingin ia menghukum langsung sang adik. Alih-alih membalas kebaikan kedua korban, Edi malah menghabisi nyawa keduanya. Warga pun menunjukkan simpati mereka kepada keluarga korban. Terutama membuat anak-anak korban tidak terus larut dalam kesedihan.
Mempertimbangkan kualitas kasus dan besarnya perhatian masyarakat, dalam perkembangannya penangangan kasus ini kemudian diambil alih pihak Polresta Mataram. Tersangka pun selalu dikawal ketat, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap diri tersangka. Edi sendiri terlihat cukup kooperatif dan menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatan yang telah ia lakukan.


Kepada penyidik ia pun menceritakan, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya ini. Menurut pemuda yang beberapa hari sebelum kejadian berencana menikah ini, tindakannya tersebut terjadi begitu saja. Tidak ia rencanakan dan berawal ketika ia bertandang kerumah korban, untuk maksud melaporkan rencana pernikahannya.
Malam itu sekitar pukul 10 dan Andre, anak sulung korban, didalam kamarnya, saat ia bercerita rencana pernikahan itulah menurut Edi, tak dinyana korban Misnah mengeluarkan komentar yang membuatnya jengkel. Merasa tidak senang, kata Edi, ia pun membatalkan rencananya menginap lalu pamit pulang.


Situasi pun menurut tersangka makin tak terkendali. Ketika wanita yang sudah ia anggap sebagai orang tua sendiri itu berteriak maling lalu menatap tajam kearahnya. Soal mengapa Muhammad Ali, anak korban yang berusia 9 tahun ikut ia aniaya, Edi mengaku yang terjadi sebenarnya tidak seperti yang orang duga. Begitu pula soal ia bermaksud menghabisi sekalian Andre, anak sulung kedua korban.


Edi juga membantah tuduhan, ia dengan parangnya telah merencanakan tindakannya ini. Menurutnya, sebagai calon pengantin tidak ada alasan untuknya menggagalkan rencana masa depannya itu dengan tindakan membunuh orang lain. Begitu pula dengan spekulasi kedatangannya malam itu, untuk meminjam uang biaya nikahnya. Menurut Edi, dalam obrolannya dengan kedua korban malam itu, tidak ada sedikitpun terucap dia ingin meminta atau meminjam uang.


Pihak Kepolisian Mataram pun, dapat menerima penjelasan tersangka. Karena itu menurut Kasatreskrim Polresta Mataram, AKP Eko Hadi Prayitno, mereka menilai tindakan Edi malam itu murni karena spontan dan dipicu rasa panik dan marah setelah diejek dan diteriaki maling oleh korban Misnah, sehingga mereka menjerat tersangka dengan pasal 338 KUHP. Dan mengingat anak korban yang terluka, mereka juga melapis tuduhan dengan pasal subsider 354 pasal 1 dan 2 KUHP, yang membuat Edi terancam hukuman 15 tahun penjara.


Pada akhirnya, biarlah hukum yang akan menentukan hukuman apa yang pantas diterima Edi. Karena seperti kata tersangka sendiri, tindakannya jelas-jelas salah dan ia sudah siap menanggung akibatnya. Bagaimanapun, jika benar ada situasi yang mendahului tindakannya. Dan atas nama keadilan semua akan dipertimbangkan hakim di pengadilan

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar