PENGANTAR
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pihak yang paling sibuk mempersiapkan Pemilu karena UU Pemilu No.10 Th.2008 memang menugaskan lembaga ini melaksanakan Pemilu. Di tengah jadwal padat dengan pekerjaan yang bertumpuk itu KPU harus pula menghadapi "pergulatan hukum" karena sejumlah pihak mengajukan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal UU No. 10 Th.2008. Tidak saja menyangkut kewenangan KPU (Ps, 214 dalam hal menetapkan caleg terpilih, Pasal 98-99 soal penindakan media massa yang tak penuhi kewajiban pelayanan kepada Parpol) tapi juga hal lain yang bersifat teknis namun memerlukan landasan hukum (pemutakhiran DPT dan penandaan lebih dari satu surat suara).
Bagaimana KPU menghadapi ujian dan tanggungjawab yang demikian berat, dengan waktu yang makin mendekati Tgl 9 April 2009? Dengan segala tekanan itu tak sedikit pula yang mulai khawatir Pemilu tak bisa dilaksanakan tepat waktu. Untuk mengetahui lebih dekat persiapan yang telah dan akan dilakukan KPU guna menjawab semua pertanyaan masyarakat itu, saya mendatangi Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari di ruang kerjanya Selasa lalu. Berikut petikan wawancaranya
Firdaus Masrun (FM):
Ada yang berpendapat bahwa dengan Undang-Undang Pemilu No.10 Tahun 2008 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga super body, sangat kuat dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Tapi karena itu pula UU Pemilu banyak menuai gugatan uji materiil. Komentar anda?
Abdul Hafiz Anshari (AHA):
Bisa saja ada yang berpendapat demikian. Di satu sisi KPU menjadi kuat tapi kalau kita pelajari pasal demi pasal dari UU itu ada yang justru berat bahkan secara teknis operasional di lapangan tidak bias dilaksanakan KPU. Karena aturan dalam UU itu sudah sangat detail tapi kami menemukan banyak kendala melaksanakannya.
FM:
Selasa (24/2) Mahkamah konstitusi memutuskan Pasal 98 (Ayat 2, 3 dan 4) dan Pasal 99 UU Pemilu No.10 Tahun 2008 tidak boleh dilaksanakan dan menjadi dasar bagi KPU mengatur media massa karena isi kedua pasal itu bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan tidak pula sejalan dengan UUD 1945. Komentar anda?
AHA:
Kalau memang sudah demikian keputusan MK, maka kami akan sangat menghormatinya karena kami percaya hakim-hakim MK apalagi ketuanya kami nilai sudah sangat bijak menghadapi gugatan pasal yang diajukan masyarakat itu. MK memutuskan kedua pasal itu tidak bias diterapkankarena bertentangan dengan UUD 1945 atau dikatakan tidak meiliki dasar hukum kuat dan mengikat. Saya kira itu sudah melalui proses kajian yang sangat mendalam dan panjang dengan semangat keadilan terhadap media massa
Kami juga menyadari Pasal 98 dan Pasal 99 UU Pemilu No.10 Th, 2008 itu sangat berat bagi media massa untuk diterapkan karena menyebabkan media massatidak bias menjalankan prinsip kebebasannya, apalagi sampai dicabut izinnya
FM:
Bagaimana dengan Pasal 214 UU Pemilu yang dicabut MK? Pernah ada wacana KPU akan memberlakukan lagi pasal itu kalau pemerintah tak mengeluarkan Perppu soal ketetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak?
AHA:
Sebenarnya dalam pleno internal KPU kita tidak pernah membicarakan itu. Hanya ketika kami mendapatkan putusan MK tentang pembatalan Pasal 214 itu pertanyaan mendasar kami bagaimana caranya kita menetapkan calon terpilih nanti?. Karena dalam putusan MK itu secara eksplisit tidak disebut system suara terbanyak, tidak ada perintah kepada KPU untuk membuat regulasi, misalnya peraturan yang mengatur itu. Karena itu sempat timbul perdebatan di internal kami soal apakah KPU memiliki kewenangan membuat peraturan sebagai pengganti Pasal 214 atau tidak?
FM:
Ada yang melihat pembatalan Pasal 214 ini justru membebani KPU karena akan besarnya potensi perselisihan antarcaleg karena persoalan jumlah suara?
AHA:
Betul.KPU memang terbebani dengan keputusan itu. Soal banyak gugatan antercaleg itu sangat mungkin terjadi. Sebenarnya KPU sudah memplenokan bagaimana sistem suara terbanyak. Cuma belum kita luncurkan sebelum ada Perppu yang kami maksudkan itu, bisa dalam bentuk revisi UU Pemilu No.10 Th. 2008. Soal gugat-gugatan antarcaleg sudah kita fikirkan dengan membuat perangkat-perangkat yang diperlukan.
FM:
Pergulatan hukum ini mengganggu kerja KPU dalam mempersiapkan Pemilu?
AHA:
Ya sudah tentu sangat menyita waktu, fikiran dan tenaga, walaupun kita punya Biro Hukum tapi mereka punya kesibukan yang menyentuh masalah-masalah hokum juga, terkait aturan yang harus kita selesaikan. Tapi kami tetap optimis, Pemilu akan bias dilaksanakan tepat waktu dan lancar. Insya Allah. Tolong kami didoakan agar keinginan bersama itu bias kita wujudkan.
Hasil wawancara ini ditayangkan di Program Fokus Indosiar Edisi Kamis (26/2/09)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pihak yang paling sibuk mempersiapkan Pemilu karena UU Pemilu No.10 Th.2008 memang menugaskan lembaga ini melaksanakan Pemilu. Di tengah jadwal padat dengan pekerjaan yang bertumpuk itu KPU harus pula menghadapi "pergulatan hukum" karena sejumlah pihak mengajukan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal UU No. 10 Th.2008. Tidak saja menyangkut kewenangan KPU (Ps, 214 dalam hal menetapkan caleg terpilih, Pasal 98-99 soal penindakan media massa yang tak penuhi kewajiban pelayanan kepada Parpol) tapi juga hal lain yang bersifat teknis namun memerlukan landasan hukum (pemutakhiran DPT dan penandaan lebih dari satu surat suara).
Bagaimana KPU menghadapi ujian dan tanggungjawab yang demikian berat, dengan waktu yang makin mendekati Tgl 9 April 2009? Dengan segala tekanan itu tak sedikit pula yang mulai khawatir Pemilu tak bisa dilaksanakan tepat waktu. Untuk mengetahui lebih dekat persiapan yang telah dan akan dilakukan KPU guna menjawab semua pertanyaan masyarakat itu, saya mendatangi Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari di ruang kerjanya Selasa lalu. Berikut petikan wawancaranya
Firdaus Masrun (FM):
Ada yang berpendapat bahwa dengan Undang-Undang Pemilu No.10 Tahun 2008 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga super body, sangat kuat dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Tapi karena itu pula UU Pemilu banyak menuai gugatan uji materiil. Komentar anda?
Abdul Hafiz Anshari (AHA):
Bisa saja ada yang berpendapat demikian. Di satu sisi KPU menjadi kuat tapi kalau kita pelajari pasal demi pasal dari UU itu ada yang justru berat bahkan secara teknis operasional di lapangan tidak bias dilaksanakan KPU. Karena aturan dalam UU itu sudah sangat detail tapi kami menemukan banyak kendala melaksanakannya.
FM:
Selasa (24/2) Mahkamah konstitusi memutuskan Pasal 98 (Ayat 2, 3 dan 4) dan Pasal 99 UU Pemilu No.10 Tahun 2008 tidak boleh dilaksanakan dan menjadi dasar bagi KPU mengatur media massa karena isi kedua pasal itu bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan tidak pula sejalan dengan UUD 1945. Komentar anda?
AHA:
Kalau memang sudah demikian keputusan MK, maka kami akan sangat menghormatinya karena kami percaya hakim-hakim MK apalagi ketuanya kami nilai sudah sangat bijak menghadapi gugatan pasal yang diajukan masyarakat itu. MK memutuskan kedua pasal itu tidak bias diterapkankarena bertentangan dengan UUD 1945 atau dikatakan tidak meiliki dasar hukum kuat dan mengikat. Saya kira itu sudah melalui proses kajian yang sangat mendalam dan panjang dengan semangat keadilan terhadap media massa
Kami juga menyadari Pasal 98 dan Pasal 99 UU Pemilu No.10 Th, 2008 itu sangat berat bagi media massa untuk diterapkan karena menyebabkan media massatidak bias menjalankan prinsip kebebasannya, apalagi sampai dicabut izinnya
FM:
Bagaimana dengan Pasal 214 UU Pemilu yang dicabut MK? Pernah ada wacana KPU akan memberlakukan lagi pasal itu kalau pemerintah tak mengeluarkan Perppu soal ketetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak?
AHA:
Sebenarnya dalam pleno internal KPU kita tidak pernah membicarakan itu. Hanya ketika kami mendapatkan putusan MK tentang pembatalan Pasal 214 itu pertanyaan mendasar kami bagaimana caranya kita menetapkan calon terpilih nanti?. Karena dalam putusan MK itu secara eksplisit tidak disebut system suara terbanyak, tidak ada perintah kepada KPU untuk membuat regulasi, misalnya peraturan yang mengatur itu. Karena itu sempat timbul perdebatan di internal kami soal apakah KPU memiliki kewenangan membuat peraturan sebagai pengganti Pasal 214 atau tidak?
FM:
Ada yang melihat pembatalan Pasal 214 ini justru membebani KPU karena akan besarnya potensi perselisihan antarcaleg karena persoalan jumlah suara?
AHA:
Betul.KPU memang terbebani dengan keputusan itu. Soal banyak gugatan antercaleg itu sangat mungkin terjadi. Sebenarnya KPU sudah memplenokan bagaimana sistem suara terbanyak. Cuma belum kita luncurkan sebelum ada Perppu yang kami maksudkan itu, bisa dalam bentuk revisi UU Pemilu No.10 Th. 2008. Soal gugat-gugatan antarcaleg sudah kita fikirkan dengan membuat perangkat-perangkat yang diperlukan.
FM:
Pergulatan hukum ini mengganggu kerja KPU dalam mempersiapkan Pemilu?
AHA:
Ya sudah tentu sangat menyita waktu, fikiran dan tenaga, walaupun kita punya Biro Hukum tapi mereka punya kesibukan yang menyentuh masalah-masalah hokum juga, terkait aturan yang harus kita selesaikan. Tapi kami tetap optimis, Pemilu akan bias dilaksanakan tepat waktu dan lancar. Insya Allah. Tolong kami didoakan agar keinginan bersama itu bias kita wujudkan.
Hasil wawancara ini ditayangkan di Program Fokus Indosiar Edisi Kamis (26/2/09)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar