
PERSPEKTIFKU
Aku lahir, besar dan memulai segalanya dari sebuah kampung kecil di Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan kedua orang tuaku Masrun Menasin-Umi Kalsum. Ayahku seorang petani yang kemudian berjuang mengubah nasibnya menjadi seorang pegawai negeri di instansi bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kini bernama Depdiknas). Ibuku seorang ibu rumah tangga, anak seorang ulama besar di zamannya bernama Syekh Yahya.
Aku Orang Muaraenim. Aku sangat sadar sekaligus bangga dengan predikat itu. Kebanggaan itu tumbuh atas dasar pemahaman bahwa tak ada yang salah dengan daerahku, kecuali kenyataan limpahan kekayaan potensi yang dimilikinya tak sebanding dengan kemajuan (pembangunan dan peradaban) yang dicapainya, setidaknya sampai tulisan ini kubuat. Kabupatenku memiliki banyak kekayaan potensi alam. Dari Minyak, batubara sampai sektor holtikulura dengan kesuburan tanah dan aneka tumbuh-tumbuhan produktif di atasnya.
Satu lagi, kota kelahiranku dibelah oleh sungai, Sungai Enim namanya. Jembatan panjang membentang, mennjadi jalur penghubung di atasnya. Semasa kecil aku sering bermain di sungai itu. Sepulang sekolah, bersama teman-teman bermain, terjun dari ketinggian, berenang dan kejar-kejaran, penuh canda tawa. Jujur, aku sering merindukan kehidupan masa kecilku itu.
Ketika SMA, saat nalarku mulai berjalan obyektif, aku mulai mencoba membaca keadaan. Dengan memberi perbandingan pada daerah lain, aku melihat kemajuan yang dicapai daerahku jauh tertinggal. Mayoritas masyarakat masih di bawah garis kemiskinan, pendidikan masih rendah dan--akibatnya, pengangguran masih banyak. Kesejahteraan hanya dinikmati kebanyakan pendatang. Kalaupun penduduk pribumi, tak lebih mereka yang berhasil menjadi pegawai negeri, itupun kelas rendahan. Mengapa? Inilah pertanyaan mendasar dan menjadi kegelisahanku sepanjang waktu.
Aku memendam angan, mengumpal menjadi sebuah cita-cita. Jika kelak aku besar dan memiliki kemampuan, aku ingin berbuat untuk daerahku ini. Menjadi apa, bagaimana, kuserahkan dengan waktu. Ya, biar waktu (yang bersamanya membentukku) yang akan menjawabnya. Tuhan, bantulah aku mengangkat harkat dan martabat hidup dan kehidupan daerahku ini, Amin.
(Depok, 3 Maret 2009)