

KEPENTINGAN. Kata itu begitu universal, memiliki banyak arti, bergantung dari mana kita melihatnya. Ada saat di mana kita memahaminya secara obyektif tapi tak jarang—bahkan sangat sering, secara subyektif. Pada ranah politik, kepentingan menjadi satu kata yang paling sering diucapkan dan dijalani. Tapi itulah poltik, medan di mana aneka kepentingan bertemu, berbenturan lalu kemudian bergandengan dan seterusnya.
Tulisan ini tentu tak hendak membahas kepentingan dari sudut terminologi bahasa, tapi lebih pada bagaimana melihat saat kepentingan bermain pada tataran implementatif paktis, khususnya dalam kehidupan sosial-politik. Karena, saya berpendapat, saat kepentingan bermain semua akal sehat seperti tidak lagi berjalan baik (kalau bukan, justru tak ada lagi). Pergumulan politik yang kini dan akan terus terjadi di negeri ini, memberi gambaran konkrit tesis itu. Dan menurut saya, topik ini akan terus menarik, takkan pernah terlambat dibahas apalagi untuk dibilang basi. Karena setelah Kamis (4/9) bangsa ini menggelar ajang demokrasi bernama Pemilu Legislatif, di depan mata akan juga menyongsong apa yang disebut Pemilihan Presiden.
Bangsa ini (menurut saya) seperti tak pernah mau belajar dari pengalaman yang telah lalu. Dalam ajang politik bernama election—pemilihan (Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah dan semua turunannya), tingkat partisipasi konstituen menjadi ukuran berhasil tidaknya hajat politik itu. Pemilihan Umum, ambil contoh, akan dinilai berhasil jika partisipasi pemilih mencapai lebih dari 70 persen dari total mata pilih sah, demikian sebaliknya. Bagaimana Pemilu 2009?
Melihat apa yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2009 yang baru berlalu, saya—jujur saja, agak terperangah. Bagaimana mungkin, saat semua kalangan menginginkan peran aktif dan partisipasi besar masyarakat untuk terlibat mensukseskan ajang demokrasi itu, saat bersamaan ada upaya pengambatan. Saat triliunan dana dikeluarkan untuk membiayai ajakan datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), saat bersamaan ada ”tangan-tangan” kuat bernama DPT (Daftar Pemilih Tetap) menghalangi mereka yang datang memenuhi ajakan itu?.
Demi kepastian hukum, demi kepatuhan pada atuiran. Kata-kata seperti itu, akhirnya jadi tak lebih sekedar hiasan bibir, tak bermakna bahkan menjengkelkan. Adakah yang salah? Menurut saya ada, bahkan banyak. Di mana masalahnya? Ya itu, machluk bernama kepentingan. Satu bulan menjelang pemilu dilaksanakan masyarakat disuguhkan kabar adanya skenario penggelembungan suara di DPT dan Pilkada Jatim menjadi komoditu memaksimalkan issu itu. Berhasil. KPU (mudah-mudahan benar) terpancing dan akhirnya mengetatkan aturan bahwa berdasarkan UU Pemilu No.10 Th. 2008 hanya mereka yang terdaftar di DPT yang berhak memilih.
Celakanya, DPT yang telah ditetapkan, diproses lewat cara lama; asal-asalan dan “Sekedar Proyek Jalan”. Tidak valid dan menuai banyak pertanyaan, termasuk dari kalangan pejabat RT-RW sebagai pejabat paling bawah dan dekat dengan warga sebagai calon pemilih. Hasilnya tentu saja menggelikan. Si A yang sudah di dalam kubur masih diundang datang ke TPS, si B yang baru belajar jalan diajak datang ke TPS, bahkan pejabat RT yang mendatapun tak termasuk dalam DPT. Yang lebih menggelikan, mereka yang masuk DPT dan sudah datang ke TPS juga ada yang ditolak mencontreng karena alasan sepele, tak ada di tempat karena pulang sebentar ke rumah saat namanya dipanggil. Lucu dan menggelikan sekali demokrasi kita. Bisa ditebak, protes di mana-mana, petugas KPPS menjadi sasaran kemarahan. Sesama anak bangsa baku hantam lagi.
Di Depok Jawa Barat, sehari sebelum pemilu dilaksanakan, KPUD sempat mengeluarkan dua surat edaran (SE)yang saling bertentangan. Pertama membolehkan mereka mereka yang tak masuk DPT untuk mencontreng, asal membawa KTP dan KK (Kartu Keluarga)—dan sudah ada yang berhasil mencontreng dengan SE ini, lalu beberapa jam berselang (karena membingungkan) dikeluarkan lagi SE yang kembali ke aturan awal, berdasarkan DPT. Kepada penulis yang mencoba menghubungi malam sebelum pemilu dlaksanakan, Ketua KPUD Depok Muhammad Hasan bahkan mengeluarkan pernyataan yang juga membingungkan ”Walau tak ada di DPT tapi kalau ada di DPS silakan datang ke TPS dan boleh mencontreng” Lho..?
Silang sengkarut dan sangat semrawut pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009. Yang lebih mengelikan, beberapa jam setelah ajang pemungutan suara, KPU sumringah sambil bertepuk dada, mengatakan pemilu telah berhasil, bahkan mendapat pujian negara sahabat. Presiden tak mau kalah, minta maaf dan berharap masyarakat bersabar. Tokoh lain, merasa dicurangi, menuding pemilu kotor dan ujung-ujungnya minta pemilu diulang.
Sekali lagi, bangsa ini sepeti tak pernah mau belajar dari masa lalu. Kemajuan demokrasi di negeri ini baru sebatas jargon, baru sebatas kata pemanis di bibir. Padahal, bangsa kita tak kalah banyak orang yang mengaku pintar, berpendidikan tinggi, bermoral dan bijaksana. Tapi itulah kita, Bangsa Indonesia, yang saat kepentingan bermain, akal sehat tak lagi berjalan baik.. Akhirnya saya harus mengakui, memahami sebagai kewajaran saat angka Golput makin lama makin meningkat. Masyarakat makin berani menunjukkan keapatisannya dengan semua ini. Walau saya—setidaknya sampai saat ini, tak berniat memperpanjang daftar Golput. Masih ada hari esok. Semoga
(Depok, 10 April 209)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar